ADF.LY

Senin, 05 April 2010

Cerdas Bersikap : Mengharap Suami Menjadi Ayah Teladan

Seberapa besar para Ayah di rumah mengambil peran dalam pengasuhan dan pendidikan buah hati…? Sudahkah mereka memenuhi kriteria ‘Super Dad’ bagi anak-anak kita…? Apakah para Ayah sudah all out mengeluarkan segenap sumberdaya, baik itu waktu, tenaga, maupun pemikiran dan perasaan dalam proses mencerdaskan buah hati di rumah…?

Saya berharap Bunda sekalian menjawab, Alhamdulillah para Suami di rumah adalah sosok ayah teladan. Tapi jika ada di antara anda yang secara jujur tidak dapat menyatakan demikian, karena performa suami di rumah belum mencerminkan sosok ayah teladan, jangan berkecil hati. Anda tidak sendiri. Masih ada Bunda yang tidak seberuntung itu.

Bahkan Majalah Ummi edisi Juni, mengangkat masalah Peran Ayah di rumah dalam Topik Utama Ayahku Guruku, yang menurut saya wajib dibaca semua Ayah dari anak Indonesia. Karena ternyata banyak dari para suami yang belum mau terlibat aktif dalam proses pengasuhan dan pendidikan dalam mencerdaskan buah hati di rumah.

Dikatakan : “Keterlibatan ayah di rumah (di luar urusan ekonomi) kian menipis. Mereka merasa diri telah menjadi ayah cukup dengan menjalankan peran sebagai pencari nafkah (apalagi sang Bunda diam di rumah). Anak-anak pun terbiasa tumbuh tanpa mereka dan setelah besar mungkin akan bertanya, ‘emang duit doang cukup, Ayah?’ Ayah yang lebih suka bekerja di luar seringkali masih membawa pekerjaan lengkap dengan stressnya ke rumah. Sehingga jadilah mereka pribadi yang cuek, nggak mau ambil porsi lebih besar dalam mendampingi anak-anaknya tumbuh. Alhasil, ayah-ayah zaman sekarang menyandang peran mirip orang-orangan sawah pengusir burung. Kerap kita dengar ibu memarahi anaknya sambil berkata ‘Awas, tunggu ayah pulang’ atau ‘Awas, Ibu bilangin Ayah, tau rasa kamu’ Suara ibu-ibu yang memperparah keadaan. Membuat gap antara ayah dan anak semakin jauh”.

Padahal menurut Ibu Elly Risman “Kehadiran ayah dalam mendampingi tumbuh kembang anak dapat membuat mereka merasa lebih berarti, membentuk pribadi yang tangguh dan penuh inisiatif.”

Saya pribadi sering menghadapi situasi di mana saat Bunda dibuat begitu sibuk dengan pekerjaannya di rumah, ayah kadang tidak merasa perlu turun tangan untuk membantu. Lupakan urusan tetek bengek rumah, biar itu porsi Bunda saja yang memang diam di rumah. Minimal secara otomatis (tanpa harus diminta) Ayah dapat mengambil alih tugas mengurus keperluan anak-anak, terutama para balita yang belum 100% mandiri. Hal yang sejatinya merupakan kewajiban Ayah juga. Tapi apa mau dikata, sulit untuk seorang Ayah mengambil peran itu lantaran keterbatasan prioritas. Buat Ayah, kadang waktu istirahatnya demikian berharga untuk diganggu gugat, meski untuk urusan anak.

Menghadapi situasi ini seringkali saya emosi dan kehilangan nilai ibadah semua yang saya kerjakan karena jengkel. Apa daya Bunda cuma manusia.Walaupun kadang berhasil kontrol dan melihat semuanya sebagai ladang amal yang luas dan menghasilkan. Tapi anak-anak kan berhak akan waktu Ayahnya, untuk ikut ambil bagian mengurusi mereka. Banyak kegiatan sederhana tanpa biaya yang dapat dilakukan ayah bersama anak-anak di rumah, yang bisa membuat mereka bahagia dan lebih cerdas emosinya dengan partisipasi ayah yang all out.

Pertanyaannya adalah apa yang harus kita lakukan sebagai Bunda yang mau memperjuangkan hak anak-anak memperoleh waktu produktif para Ayah..?? Rasanya perhatian tulus Ayah untuk anak-anak akan jauh lebih bernilai romantis dari pada hadiah ulang tahun mahal atau candle light dinner di tempat yang wah.

Sejatinya para ayah ini adalah manusia kompeten di tempat kerjanya, yang kreatif dan produktif. Juga penuh dedikasi. Tapi kenapa tiba di rumah mereka seperti kehilangan jati diri. Potensinya menguap. Apakah karena mereka menilai kita sebagai bunda sudah melakukan tugas dengan terlalu baik sehingga tak perlu bantuan dan partisipasi Ayah lagi. Bukankah akan lebih hebat hasilnya jika Ayah dan Bunda bekerja sama secara sinergis mendidik para penerus bangsa kita. Para pejuang yang nantinya akan memperbaiki umat.

Katanya krisis peran ini terjadi karena sejak dahulu sangat sedikit contoh figur ayah teladan di negeri ini. Para Ayah itu merasa nyaman dengan sibuk sendiri tanpa menempatkan kebutuhan batin anak-anak akan partisipasinya dalam prioritas hidup mereka sehari-hari. Sepertinya mereka perlu disadarkan, suatu hari mereka harus bertanggung jawab akan sikap ini di hadapan Sang Khalik, yang menempatkan mereka sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Lupakah mereka dengan teladan yang dicontohkan Rasulullah SAW, sebagai ayah terhebat di muka bumi.

Saya pribadi tidak pernah berhenti berharap dan berdoa agar terpenuhi hak anak-anak memperoleh waktu produktif ayahnya. Alhamdulillah, Ayah sebenarnya masih punya kesadaran akan perannya. Hanya seringkali kalah dengan kantuk dan kepentingan pribadinya. Tapi Ayah selalu siap dimintai pertolongan meski butuh waktu panjang menunggunya bergerak. Apapun, Ayah masih lebih baik dari pada banyak Ayah lain yang lebih tidak perduli. Itu harus disyukuri.

Semoga Allah SWT membuka hati para suami agar mau menjadi ayah teladan segera, sebelum semua terlambat. Tanpa terasa anak akan segera beranjak remaja tanpa kedekatan dengan Ayahnya. Sehingga berkurang potensi mereka menjadi manusia yang lebih paripurna dan kaya kosa kata dalam memaknai hidupnya.

Anak adalah tanggung jawab kedua orang tua, yang memiliki peran sama dihadapan Allah SWT. Meski sebagian besar kisah dalam AlQuran, seperti dalam Surat Luqman, hanya menyebut peran ayah saja. Maka bangkitlah Ayah... Semangat... Ambil peran lebih besar... Anak-anak pasti akan lebih bahagia dan tumbuh lebih sempurna di dekat Ayahnya...

Bagi Anda yang sudah menjadi figur ayah teladan, atau punya suami teladan, jangan segan berbagi kisah untuk menginspirasi kami yang belum seberuntung Anda. Terima Kasih.

Stay Smart N Get Smarter Everyday…

Sumber: Smart Parenting (Forum Komunikasi Ortu Cerdas) I >

Tidak ada komentar:

Posting Komentar